TANGERANG - Industri hulu migas adalah aktor utama dalam menurunkan emisi karbon di industri ekstraktif. Ini tidak lepas dari risiko tinggi serta biaya besar yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan penggunaan teknologi Carbon Capture Storage (CCS).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru saja menerbitkan angka Potensi Penyimpanan Karbon Nasional Tahun 2024 guna mendukung program CCS. Potensinya sebesar 572 miliar ton CO2 pada saline aquifer, dan sebesar 4, 85 miliar ton CO2 pada depleted oil and gas reservoir.
Baca juga:
Anies Baswedan: Energi Yang Memanusiakan
|
Potensi penyimpanan yang besar tersebut akan cukup signifikan dalam mendukung target penurunan emisi jangka panjang. Hal itu semakin membuat industri hulu migas jadi yang terdepan untuk merealisasikan CCS.
Noor Arifin Muhammad, Direktur Teknik Lingkungan Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan Indonesia merupakan pemain baru dalam implementasi CCS untuk itu pemerintah dalam menyusun aturan pasti melihat praktik yang telah dilakukan di negara lain. Proses penyusunan aturan juga melibatkan para ahli dari luar negeri.
"Pertama kita membutuhkan kesepakatan bilateral antar pemerintah baru kemudian detail bisnisnya akan dibahas ditingkat antarperusahaan, " ujar Noor Arifin disela Plenary Session 3 "CCS as the Potential New Business Opportunity for Upstream Players and Supporting Economic Growth dalam IPA Convex 2024 di ICE BSD, Tangerang, Rabu (15/5).
Dan M Sparkes, VP Subsurface Asia Pacific and India BP Indonesia, mengungkapkan teknologi CCS sudah tersedia hanya saja karakteristik berbeda masing-masing wilayah turut berpengaruh dalam praktik penerapan CCS. Di Tangguh misalnya, sebenarnya perencanaan CCS sudah ada bahkan sebelum gas diproduksikan.
"CCS di Tangguh mulai dikembangkan bahkan sebelum gas mulai dikembangkan. Tapi ini masalah keekonomian, " ujar Dan.
BP memiliki peluang langsung mendapatkan keuntungan dengan menginjeksikan lagi CO2 ke dalam reservoir sehingga bisa membantu menutup biaya tinggi yang ditimbulkan akibat penerapan CCS. "Enhanced Gas Recovery fundamental bagi BP. Kalau subsidi bukan untuk selesaikan masalah jangka panjang, " kata Dan.
Belladonna Troxylon Maulianda, Direktur Eksekutif Indonesia CCS Centre, menegaskan meskipun tantangan dalam penerapan CCS cukup kompleks namun industri migas tetap menjadi garda terdepan yang bisa mengimplementasikannya
"Jika bukan industri hulu migas siapa lagi yang bisa implementasikan CCS? memang ada industri lain seperti petrokimia dan lainnya tapi bagaimana dengan human capital, teknologi, butuh waktu lama jika dilakukan industri lain, " jelas Belladona. (Hendi)